Bruno Guiderdoni adalah salah seorang intelektual Prancis Muslim yang terkenal,
seorang astrofisikawan terkemuka yang masuk Islam kurang lebih lima belas tahun
yang lalu. Dia belajar fisika dan astrofisika di Universitas Paris dan
memperoleh gelar doktornya di sana pada 1986.
Kini (2004), dia merupakan ilmuwan yang bekerja pada Badan Antariksa Eropa yang
menangani dua satelit untuk penelitian ilmiah, yaitu Herschel dan Planck, yang
akan diorbitkan pada 2007, untuk mengamati fluktuasi suhu pada radiasi latar
kosmologi dalam frekuensi inframerah-jauh dan gelombang submilimeter.
Penelitian ilmiah Dr. Guiderdoni terfokus pada persoalan lahirnya dan evousi
galaksi-galaksi.
Berikut adalah wawancara Philip Clayton dengan Bruno Guiderdoni, yang dikutip
-- seizin kronik, mizan -- dari Buku Membaca Alam Membaca Ayat (mizan, 2004).
Philip Clayton: Pengaruh-pengaruh religius apa saja yang anda terima dimasa
kanak-kanak, dan bagaimana akhirnya Anda memilih Islam ?
Guiderdoni: Ayah dan ibu saya beragama Kristen, tetapi saya tidak dibesarkan
dalam suatu agama tertentu. Sata saya mempelajari sains, saya dapati ada
sesuatu yang hilang dalam pendekatan saintifik terhadap dunia. Saat saya
mencari jenis pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah
sebuah pencarian religius. Saya tidak tahu kondisi di Amerika, tetapi di
Prancis, pendidikan modern sama sekali mengesampingkan gagasan tentang Tuhan.
Konsekuensinya, anak-anak muda tidak mampu menjelaskan apa yang mereka rasakan.
Setelah banyak membaca dan melakukan perjalanan, akhirnya saya tersadar bahwa
pencarian saya merupakan pencarian religius. Saya sangat tertarik dengan
agama-agama Timur, khususnya penekanan agama-agama itu terhadap pencarian
pengetahuan. Bagi saya, menjadi penganut Buddha, Tao, atau Hindu adalah langkah
yang terlalu jauh. Menjadi seorang Muslim merupakan jalan tengah antara Timur
dan Barat. Islam memperkenalkan diri sebagai agama pertengahan antara
agama-agama Barat -- agama Yahudi dan Kristen -- dan agama-agama Timur. Saya
merasa (dengan memeluk Islam) tetap berada pada aliran yang sama, yang telah
diawali oleh agama Yahudi dan Kristen, tetapi saya pun mendapatkan jalan kepada
agama-agama Timur. Saya menemukan jalan saya dalam Islam, meskipun,`sebagaimana
Anda tahu, Islam kini dirundung banyak masalah , terutama oleh paham
fundamentalis yang menggunakan kekerasan. Tentu saja, ada juga banyak hal
berharga dalam Islam dan banyak kemungkinan untuk sebuah kehidupan spiritual.
Clayton: Jadi, daya tarik Islam adalah karena agama itu merupakan keterpaduan
agama Yahudi dan Kristen , tetapi juga dekat dengan tradisi-tradisi ketimuran.
Guiderdoni: Benar. Terutama mistisisme Islam , yang disebut sufisme. Sufisme
memberikan penekanan pada realisasi pengetahuan dengan cara yang sangat
simpatik, dalam kerangka paham monoteis, dengan konsep teologis yang sangat
akrab dengan kita. Dalam Islam, pandangan tentang manusia, dunia, dan
penciptaan, sangat mirip dengan Yahudi dan Kristen. Akhirnya, tujuan kehidupan
religius adalah pengetahuan. Hal yang sangat penting adalah, baik pencarian
sains maupun pencarian religius saya sama-sama merupakan pencarian pengetahuan.
Clayton: Bisakah Anda berbicara sedikit mengenai apa yang tidak Anda dapatkan
dari sekadar pencarian pengetahuan saintifik?
Guiderdoni: Pada abad ke-19, sains berharap bisa menjawab semua pertanyaan.
Sains modern sangat berhasil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang
bagaimana mekanisme segala hal. Namun, hal itu mulai tidak memuaskan
pertanyaan,”Mengapa segala sesuatu berlaku seperti ini ?” Harapan di abad ke-19
itu bukanlah pada sains yang sesungguhnya, melainkan pada ideologi . Kini,
sains lebih menitikberatkan pada tujuan utamanya, yakni penjelajahan alam
semesta. Sains modern hanya sedikit berbicara di tataran fisolofis. Pada abad
yang lalu, segala usaha untuk mendefinisikan sifat-dasar kebenaraaan-ilmiah
terbukti gagal total. Dalam sains, kita memiliki metode yang sangat efisien
untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang alam semesta. Namun, kita tidak
mampu mengatakan bahwa suatu teori benar, atau mungkin benar, atau salah, atau
mungkin salah. Karya Karl Popper sangat penting dari sudut pandang ini.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ilmiah kita memunculkan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Sains adalah suatu kisah yang tiada habisnya dan
sangat mengasyikkan. Sayangnya, kita umat manusia dibatasi oleh waktu, dan kita
menginginkan jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaan lainnya. Pencarian
terhadap jawaban semacam itu adalah alami, bahkan meskipun jika pencarian ini
tidak bersifat ilmiah, melainkan religius. Itulah sebabnya mengapa saya amat
tidak puas dengan kegiatan ilmiah yang saya lakukan.
Clayton: Adakah sesuatu dalam keterbatasan pengetahuan yang telah ditegaskan
oleh para ilmuwan sendiri ratusan tahun lalu, yang memberi sumbangsih bagi
pemahaman Anda atas perlunya sebuah cara lain (di luar sains)? Umpamanya,
ketidakpastian tentang tingkatan kuantum yang digagas Heisenberg.
Guiderdoni: Di jalan inlelektual saya ada dua langkah penting, dua telaah
penting. Yang pertama adalah filsafat sains, terutama karya Popper yang saya
baca saat berusia dua puluh tahun. Langkah penting lainnya adalah perdebatan
mengenai sifat-dasar dan kesempurnaan mengenai mekanika kuantum. Di Prancis
terjadi banyak perdebatan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Bernard d’Espagnat
memberi kuliah di universitas tempat saya belajar lima belas tahun silam. Saya
terkesan oleh kecermelangan dan kecerdasannya, dan terutama oleh anlisisnya
mengenai keterbatasan mekanika kuantum dan oleh gagasan bahwa kenyataan tak
pernah benar-benar dapat diungkap penyelidikan ilmiah. Sesungguhanya realitas
selalu “terselubungi”. Saya rasa saya perlu mencoba cara lain untuk memperoleh
pengetahuan tentang realitas.
Clayton: Sejak menganut agama Islam, bagaiman Anda memandang hubungan antara
tradisi sains dan religius? Apakah Anda melihatnya komplementer, integral, atau
sebagai wilayah yang sangat berbeda?
Guiderdoni: Menurut saya, keduanya komplementer.Seperti yang saya katakan pada
Anda, Islam sangat menekankan pentingnya ilmu dalam kehidupan secara umum dan
dalam kehidupan religius secara khusus. Akar dari dosa adalah kebodohan, atau
kegelapan.”Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat,” kata Rasulullah.
Zhulm adalah istilah bahasa Arab untuk dosa dan kegelapan. Sangatlah mungkin
bagi ita untuk keluar dari dosa dengan cahaya ilmu. Maka, mencari ilmu penting
adanya, segala macam ilmu: ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Mungkin orang menganggap pengetahuan sains sebagai pengatahuan dunia, dan
pengetahuan akhirat adalah pengetahuan religius. Pada kenyatannya, perbedaan
itu tidak begitu jelas. Dalam tradisi Islam, ilmu yang dicari adalah ilmu yang
yang berguna untuk kemanusiaan secara umum. Pencarian ilmu tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai etis. Seperti halnya segala sesuatu di dunia, sains
punya satu tujuan, yaitu Tuhan. Kita tidak bisa memahami pencarian pengetahuan
secara terpisah dari upaya perbaikan diri.
Clayton: Jadi, karya Anda sebagai seorang ilmuan tidak sepenuhnya terpisah dari
ketaatan Anda sebagai seoarang Muslim. Itukah yang Anda maksud?
Guiderdoni: Ya. Tidak ada pertentangan antara sains dan agama. Tidak mungkin
ada kasus Galileo dalam Islam. Islam terbuka bagi segala macam ilmu. Jadi,
sebagai seorang Muslim, saya merasa sangat nyaman dengan aktivitas keilmuan
saya, karena saya dapat menafsirkan karya riset saya sebagai pencarian ilmu
untuk dunia ini, juga sebagai penjelajahan kekayaan dan keindahan ciptaan
Tuhan.
Clayton: Kedengarannya seolah-olah dalam Islam Anda menemukan suatu kebutuhan
untuk menyatukan karya Anda sebagai seorang ilmuan dengan amal Anda sebagai
Muslim.
Guiderdoni: Benar. Sebagai seorang Muslim, saya cenderung menyatukan seluruh
aktivitas ke dalam satu jalan tunggal, satu jalan hidup dan berfikir. Karena
Tuhan adalah Esa, manusia pun harus menjadi utuh. Pemisahan dalam bentuk apapun
antara aktivitas profesional dan pencarian religius bukanlah hal yang baik.
Kita tidak harus memisahkan aktivitas keilmuan dengan aktivitas religius. Tidak
benar bahwa ilmu dan iman tidak berhubungan satu sama lain, bahwa keduanya
sepenuhnya merupakan jalan berbeda dalam mendekati kenyataan. Pandangan ini
merupakan salah satu cacat dari beberapa pendekatan terhadap agama dalam
peradaban Barat, khususnya setelah Kant.
Namun, saya pun harus menekankan bahwa pengetahuan sains tidaklah seperti
pengetahuan religius. Pada setiap saat, kita harus menyadari sifat-dasar dari
aktivitas yang sedang kita lakukan; kita tidak mengerjakan doa seperti kita
mengerjakan penelitian. Pemaduan aktivitas kita adalah penting, tetapi kita pun
membutuhkan pembedaan. Kita harus teliti dalam hal ini.
Clayton: Jadi, pemisahan Kantian antara dunia alam dengan dunia tanggung jawab
moral dan kebebasan yang telah memengaruhi banyak pemikiran agam Kristen dan
Yahudi pada dua atau tiga abad yang lalu, tidak diterima oleh Islam?
Guiderdoni: Tidak, karena setiap perbuatan manusia memiliki makna etis.Agama
meliputi kehidupan sehari-hari . Ada waktu-waktu ritual yang eksplisit; shalat
lima kali sehari, umpamanya. Namun, di luar waktu-waktu itu, seluruh waktu
kehidupan merupakan kesempatan untuk beribadah, dalam bentuk penjelajahan
dunia. Dan penjelajahan dunia seperti apa pun akan memajukan pengetahuan.
Karena penjelajahan dunia merupakn jalan mempelajari ciptaan Tuhan, aktivitas
ini juga bernilai ibadah.
Clayton: Bagi Islam, sebagaimana bagi agama Yahudi dan Kristen, alam semesta
tidak hanya memiliki waktu yang linear, tapi juga sebuah telos (‘tujuan’,bahasa
Yunani-peny.) tertentu, tujuan yang ditetapkan Tuhan. Bagaimana gagasan tujuan
tersebut berdampingan dengan ilmu fisika dan astrofisika kontemporer?
Guiderdoni: Dalam Al-Quran , banyak ayat yang menekankan tujuan Penciptaan
Tuhan. Tujuan itu meluas hingga pada detail kehidupan sehari-hari. Tidak ada
yang diciptakan secara kebetulan. Segalanya dibuat dengan satu tujuan. Segala
sesuatu merupakan tanda-tanda Tuhan: ayat. Kata tersebut merupakan salah satu
kata penting dalam tradisi Islam; yang artinya bahwa segala yang ada di dunia,
segala yang tampak oleh kita, sesungguhnya membawa pelajaran dari Tuhan. Maka,
sekali lagi, sangatlah mudah untuk mengkaji sains modern dalam paradigma
finalitas ini. Saya terheran-heran dengan perbedaan antara keberhasilan
reduksionisme sebagai alat dan sebagai rancangan metodologis, dan kegagalannya
sebagai rancangan filosofis. Eksplorasi kita terhadap detail fisika kosmos kini
mengarah kepada sesuatu yang dapat dengan mudah dibaca sebagai finalitas.
Semua”kebetulan” yang “ditafsirkan” dengan prinsip antropik dapat dibaca dengan
mudah sebagai finalitas di dunia. Seorang Muslim tentunya tidak perlu bersusah
payah untuk membaca hal itu. Yang mendapat masalah adalah orang-orang yang tak
beriman, karena mereka memahami dunia ini sebagai sebuah bangunan raksasa yang
berdiri di atas sejumlah sangat kecil pilar yang tertala-cermat (finely tuned):
nilai-nilai konstanta fisika. Itulah yang menjadi masalah bagi mereka.
Clayton: Argumen apa yang Anda pakai sebagai seorang fisikawan, tentang
keberadaan rancangan dan tujuan dalam alam semesta ini?
Guiderdoni: Telah banyak muncul karya tentang prinsip antropik, yang dirangkum
dengan baik dalam buku karangan John Barrow, The Antropic Cosmological
Principle. Secara historis, keluasan jagat raya telah digunakan sebagai arguman
untuk menentang agama.Alasannya, jika jagat semesta demikian luas , manusia
menjadi tidak ada artinya dan konsep adanya agama yang diwahyukan di planet
kecil tempat kita tinggal pun tidak punya makna. Namun, kini kita tahu bahwa
usia dan ukuran alam semesta yang bisa diamati berhubungan erat dengan
kehadiran kita di bumi. Kita tidak dapat muncul di sebuah jagat raya yang
memiliki usia dan ukuran yang berbeda (dari jagat raya yang kita huni sekarang).
Usia alam semesta yang sangat tua diperlukan untuk pengayaan elemen berat, juga
penting bagi pembentukan planet dan kemunculan kehidupan.
Ukuran semesta Merupakn konsekuensi usianya. Kita memerlukan ukuran semesta
seperti ukuran semesta kita ini dan waktu selama usia semesta kita ini, agar
kita (manusia) dapat muncul dibumi.
Clayton: Beberapa orang memberikan argumen-argumen fisika untuk mempertahankan
apa yang biasa disebut prinsip antropik kuat. Apakah Anda bersimpati kepada
pandangan yang menyatakan bahwa kemunculan kehidupan cerdas adalah sebuah
keniscayaan tersebut dirancang di alam semesta sejak awal?
Guiderdoni: Ya, saya sepakat. Menurut saya, hal itu merupakan konsekuensi tak
terhindarkan dari kerja-kerja terbaru dalam kosmologi modern. Semua”kebetulan”
pada konstanta-konstanta fisika membuat kompleksitas yang amat besar menjadi
mungkin. Sebagai orang beriman, saya menganut prinsip antropik kuat; segalanya
telah dirancang dengan cara tertentu untuk memungkinkan keberadaan manusia.
Clayton: Bolehkah saya menanyakan sifat-dasar prinsip tersebut? Ada orang
bilang bahwa itu merupakan penjelasan metafisis. Ada yang bilang itu
benar-benar merupakan kesimpulan fisika, bahwa prinsip itu bisa kita peroleh
dari fisika, tanpa mesti beralih ke meta fisika.
Guiderdoni: Untuk saat ini, saya katakan bahwa itu bukan suatu prinsip fisika.
Itu adalah sesuatu yang berakar dalam sains, tetapi merupakan prinsip
metafisika. Memang ini merupakan arus balik menuju metafisika yang mengejutkan,
karena banyak filosof menyatakan bahwa kita telah membunuh metafisika sejak
kemunculan filsafat Kantian pada akhir abad ke-18. Kini, metafisika dimunculkan
kembali saat tidak diharapkan , oleh sains itu sendiri.
Menurut saya, prinsip antropik tidak bisa dianggap sebagai prinsip fisika
karena prinsip fisika harus bisa diprediksikan. Saya tidak tahu apakah telah
muncul prediksi dari prinsip antropik. Namun, tentu saja kita tidak bisa
menghilangkannya hanya karena prinsip ini punya makna metafisis.
Clayton: Dalam sains dasawarsa lalu, sebagaimana yang Anda gambarkan,
kesimpulan-kesimpulan metafisis dipengaruhi oleh karya-karya bidang
astrofisika, bahkan mungkin bisa diuji melalui cara-cara tertentu. Riset fisika
sebenarnya bisa memberi bukti untuk beberapa tinjauan metafisis. Apakah saya
mendiskripsikan pendirian Anda itu dengan benar?
Guiderdoni: Ya Anda benar. Kecenderungan dalam Islam selalu ke arah penyatuan.
Maka, pernyataan bahwa metafisika bisa disingkirkan sepenuhnya dari sebarang
bidang aktivitas atau pengetahuan manusia benar-benar tidak konsisten dengan
pemikiran Islam. Dari sudut pandang sains modern, yang, setidak-tidaknya pada
abad-abad lalu, berusaha meniadakan metafisika, kembalinya metafisika merupakan
sebuah kejutan. Pemikiran Islam menekankan hubungan erat antara pendiskripsian
jagat raya dan akar-akarnya dalam prinsip-prinsip metafisika dan spiritual.
Keberhasilan reduksionisme sebagai sebuah metodologi keilmuan dan kegagalannya
sebagai sebuah rancangan filsafat, menjadi dorongan kuat bagi pencarian jenis
ilmu lain, cara lain untuk melihat kebenaran tunggal. Menurut saya, seluruh
pemikiran Islam pun mengarah pada kesimpulan bahwa hanya ada satu kebenaran.
Untuk mencapainya, kita memiliki banyak cara. Salah satunya adalah sains. Baik
kesuksesan maupun kegagalannya membesarkan hati. Kegagalannya, berupa ketiadaan
jawaban-jawaban radikal, mungkin menjadi pendorong untuk beranjak kepada cara
lain dalam memperoleh kebenaran. Mungkin jalan religius memiliki keistimewaan,
dalam hal tertentu. Menurut saya, filsafat modern tidak menekankan pada
pencarian kebenaran. Itu ditandai dengan lenyapnya metafisika. Jadi, mungkin
agama adalah satu-satunya jalan yang tersisa bagi para ilmuan untuk mencoba
memperoleh kebenaran.
Clayton: Jadi, mungkin bisa dikatakan seperti ini: bahwa sebagai seorang
ilmuan, saya takjub dengan improbabilitas bahwa saya -- sebagai orang yang
mengetahui -- harus ada di sini. Saat saya tatap alam semesta, tampaklah ia
seolah-olah tertala-cermat, sehingga kehidupan dapat berkembang. Kemudian, saya
mengetahui prinsip antropik dalam fisika, atau pentingnya posisi pengamat dalam
bidang fisika kuantum, sehingga saya berfikir pasti ada tujuan tertentu bagi
kita. Saya berpaling dari agama untuk mencari tahu apakah tujuan itu dan apakah
tanggung jawab moral saya di hadapan Tuhan. Demikiankah gagasan Anda ?
Guiderdoni: Tepat sekali. Saya tidak menyukai penafsiran dualistik sains,
khususnya mengenai mekanika kuantum. Saya menyukai realitas; saya adalah
seoraang realis. Kita menduga bahwa ada realitas tersembunyi, sebuah “realitas
terselubung”, sebagaimana dikatakan d’Espagnat. Kita mencoba untuk lebih dekat
pada realitas ini melalui sains dan kita berhasil dalam beberapa hal. Namun,
kita merasa bahwa kita membutuhkan suatu langkah kualitatif yang akan
menggiring kita pada pertanyaan mengenai makna segala sesuatu. Menurut saya,
kita hanya bisa memperoleh jawaban melalui pendekatan religius. Dan inilah
sebabnya mengapa saya memandang dua aktivitas itu benar-benar komplementer.
Clayton: Islam,seperti halnya agama-agama Barat, mengajarkan bahwa umat manusia
diciptakan bertanggung jawab secara moral, bebas, dan mampu berhubungan dengan
Tuhan. Bagaimana pengertian manusia sebagai pribadi ini dapat dikatakan sesuai
dengan teori sains mutakhir?
Guiderdoni: Ini adalah pertanyaan yang berkaitan; manusia digambarkan dalam
Al-Quran sebagai wakil Tuhan di bumi. Jadi, ia tidak berada di atas ciptaan.
Mungkin dikatakan bahwa pada peradaban Barat, khususnya pandangan -- dunia
Cartesian, hanya manusialah yang mempunyai jiwa; maka ia bisa berbuat apapun
yang diinginkannya di dunia ini. Dalam Islam, manusia tidak berada di atas
penciptaan, tetapi berada di pusatnya. Dan kita harus mengatur ciptaan
tersebut, atas nam Tuhan, seperti penjaga kebun yang baik. Kita bertanggung
jawab atas ciptaan dan tidak bisa mengubahnya semau kita. Manusia berada di
bumi ini sebagai konsekuensi dari sejumlah krisis luar biasa dalam perkembangan
alam semesta: krisis dalam pembentukan galaksi, pembentukan spektrum-spektrum
bintang, evolusi bintang dan seterusnya, hingga pembentukan planet-planet dan
munculnya kehidupan, serta seluruh periode perkembangan hidup dan sebagainya.
Sains mengajarkan bahwa kita berada di puncak bangunan kosmis raksasa, yang
berusia 10 milyar tahun. Islam membantu saya merasa nyaman, karena penekanannya
terhadap ilmu dan nilai-nilai etika. Pengetahuan tidak bisa di capai secara
terpisah dari pencarian nilai-nilai etika. Nilai etika yang sesungguhnya adalah
tanggung jawab. Jadi, pandangan ilmiah ini, yang mengatakan bahwa manusia merupakan
akibat dari apa yang dinamakan “kebetulan-kebetulan” dan krisis- krisis yang
luar biasa banyaknya itu, seharusnya menuntun kita pada pandangan religius yang
memandang manusia memiliki rasa tanggung jawab yang besar di muka bumi.
Selain itu, hal yang sangat menarik adalah kemunculan manusia dalam kosmologi.
Prinsip kosmologis menyatakan bahwa tempat yang “jauh” tidak ada bedanya dengan
“di sini”; tidak ada posisi istimewa dalam jagat raya. Namun, hal ini membawa
kemungkinan penjelajahan sejarah alam semesta. Karena kenyataan bahwa “yang
jauh” sama dengan “ di sini”, maka sejarah alam semesta bisa di telusuri dengan
mengamati benda-benda pada pergeseran merah (redshift) yang tinggi. Ini berarti
pula bahwa jarak yang jauh memberi gambaran dari masa yang sangat lampau,
karena cahaya berjalan pada kecepatan terbatas. Kita bisa merekonstruksi masa
lalu alam semesta dan masa lau kita sendiri, sampai pada saat-saat pertama
setelah terjanya Ledakan Besar. Jadi, kita berada pada posisi pusat; kita ada
di pusat semesta yang bisa diamati. Dalam beberapa hal, kosmos kita sangatlah
mirip dengan kosmos Abad pertengahan yang menempatkan manusia di pusat semesta.
Tentu saja, kita tahu bahwa dunia ini tak terbatas. Namun, dunia yang bisa
diamati adalah sebuah gelembung di keluasan alam semesta. Kita berada di posisi
pusat seperti ini dalam upaya membangun pengetahuan kita mengenai dunia.
Dengan kata lain, kita berada di sebuah lokasi yang sesuai untuk mengamati
semesta karena bidang galaksi kita, umpamanya, memiliki sebuah sudut pandang
bagus terhadap bidang Supergugus Lokal(Local Super Cluster). Kita tidak berada
dalam sebuah awan molekular dan seterusnya. Semesta yang mengelilingi kita,
Galaksi Bima Sakti, agak tembus cahaya. Dan kita bisa mengakses masa yang
sangat lampau. Jika kita hidup di galaksi lain, atau dalam sebuah awan
molekular, semesta di sekeliling kita akan benar-benar buram, kecuali bagi
radiasi cahaya inframerah dan gelombang radio. Pasti ada lebih banyak halangan
untuk mengungkap semesta ini.
Ada banyak kemiripan dalam cara kita memandang dunia dengan cara Abad
Pertengahan memandang dunia ini. Bagi para pemikir Abad Pertengahan, batas
jagat raya adalah bola langit(atau lebih tepatnya adalah Langit Kristal
[Crystalline Sphere]), karena penemuan presesi ekuinoks (the precession of the
equinoxes). Ini merupakan pembatasan yang amat tajam, pemisahan antara jagat
raya di satu sisi dan Empyreum (lokus Singgasana Tuhan, ‘Arsy) pada sisi yang
lain. Inilah batas maksimal bagi penciptaan. Dan kita pun memiliki batas ini,
karena batas semesta yang bisa kita amati pun berbentuk sebuah bulatan. Pada
permukaan bulatan itu, kita mendapatkan T=0 dan kita tidak bisa melihat lebih
jauh. Lebih jauh lagi adalah masa lalu yang sudah terlalu lampau. Itulah saat
ledakan besar terjadi; yang merupakan misteri bagi kosmologi modern. Kita tahu
bahwa dunia ini tidak terbatas dan penuh dengan bintang dan galaksi, tetapi
kita punya pandangan yang dinamis terhadap jagat raya, kaitan yang erat antara
menatap jarak yang jauh dan menggali masa lalu. Ketika kita melihat jauh, kita
mencoba menggali asal mula keberadaan kita tetap sebagaimana Dante Alighieri
menggambarkan secara alegoris dirinya mengarungi ruang angkasa untuk melihat
wajah Tuhan. Ada banyak kemiripan lainnya antara pandangan Abad Pertengahan
dengan sains modern mengenai jagat raya.
Clayton: Saya ingin tahu, bagaimana pengaruh pengetahuan kita mengenai evolusi
kehidupan terhadap pandangan religius terhadap individu. Menurut biologi
evolusioner, kita sangat mirip dengan mahluk primata tingkat tinggi lainnya.
Sebagian besar materi genetis kita sama dengan mereka. Apakah hal itu
menimbulkan ketegangan pada keyakinan religius mengenai keunikan sosok individu
sebagai wakil Tuhan ?
Guiderdoni: Mungkin akan ada semacam tegangan jika Anda membaca Al-Quran secara
harfiah. Namun,hal itu akan hilang jika kita mengkaji ayat-ayatnya secara
terbuka. Penciptaan manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut: Manusia
diciptakan Tuhan dari dua unsur. Ia tercipta dari tanah liat (thin) dan ruh Tuhan
(Ruh). Proses penciptaan ini dulu ditafsirkan sebagai penciptaan yang terjadi
seketika. Namun, tak satupun petunjuk dalam ayat-ayat suci itu yang
mengharuskan kita tiba pada kesimpulan ini, karena segala sesuatu yang di
deskripsikan oleh (teori) evolusi bisa jadi terkait dengan bagian dari evolusi
kosmik sejak awal, dari nukleosintesis pada bintang-bintang dan seterusnya, dan
fakta bahwa unsur-unsur kita,”tanah liat”, ada pada bintang-bintang 5 milyar
tahun lalu. Bagian tanah liat ini membuat kita sangat dekat dengan dunia ini,
sangat dekat dengan hewan.
Kita pun mempunyai bagian lainnya, yakni ruh Tuhan. Ruh ini merupakan anugrah
Tuhan, dan itu bukan satu-satunya alasan. Aristoteles mengatakan bahwa manusia
adalah hewan yang berpikir, tetapi pikiran bukan satu-satunya perbedaan.
Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kapasitas untuk mengenal Tuhan, untuk
menyadari nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya. Dalam tradisi Islam, manusia
adalah satu-satunya makhluk di dunia ini yang memiliki kemampuan untuk menyadari
seluruh asma Tuhan, seluruh sifat-sifat-Nya. Inilah anugrah dari Ruh Tuhan
dalam diri kita. Dalam Islam, tak ada hal-hal yang menyebabkan penentangan
terhadap kemungkinan bahwa bentuk dan sifat-sifat manusia yang sama dengan
hewan (unsur hewaniah) merupakan hasil dari proses evolusi yang panjang.
Al-Quran tidak menceritakan sejarah dunia. Ia adalah kitab yang khas, sebuah
kitab yang mengiring perhatian manusia kepada fakta-fakta signifikan. Ini
bukanlah sebuah buku teks ilmiah. Bagian-bagian dari Al-Quran sangat puitis dan
misterius, dan ayat-ayatnya bisa di baca dengan berbagai cara. Selama Abad
Pertengahan, Al-Quran sering di baca secara harfiah, sangat mirip dengan yang
di lakukan orang-orang Yahudi atau Kristen. Namun, ayat-ayat itu selalu terbuka
untuk ditafsirkan dan di baca kembali.
Al-Quran menyatakan bahwa ada masa ketika manusia belum diciptakan. Manusia
diciptakan untuk Tuhan, tetapi jagat raya di ciptakan untuk manusia, untuk
menjadi tempat (lokus) pengetahuan kita mengenai Tuhan. Penciptaan manusia
mungkin berlangsung dalam waktu yang sangat lama, tetapi hitungan waktu tidak
benar-benar signifikan dari sudut pandang spiritual. Yang penting adalah apa
yang sedang terjadi sekarang dan kemampuan kita untuk memahami tindakan Tuhan
di jagat raya.
Clayton: Jadi, kisah-kisah tentang bagaimana segala sesuatu terjadi dan bahwa
manusia berbeda dari hewan tidak begitu penting dalam Islam, jika dibandingkan
dalam agama Kristen? Permasalahan yang penting adalah bagaimana pemahaman
manusia saat ini di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia hidup dan berperilaku.
Apakah demikian?
Guiderdoni: Ya, saya pikir begitu. Dalam Islam, ada penekanan bagi realisasi
spiritual. Realisasi spiritual ini juga sama pentingnya dalam ajaran Buddha dan
Hindu. Sebagai orang Barat, kita terbiasa menangani banyak masalah, yang
sebagian tidak ada kaitannya dengan kita. Meskipun kita mencapai kesuksesan
dalam penjelajahan jagat raya, tujuan penciptaan diri kita bukanlah penemuan
jagat raya tersebut. Kita tidak memiliki deskripsi yang luar biasa mengenai
sejarah jagat raya. Namun, terlepas dari penemuan-penemuan ini, hal yang
penting justru terlupakan: realisasi spiritual manusia. Karenanya, kita butuh
lebih banyak pengetahuan daripada yang bisa diberikan oleh sains. Kita di Barat
biasa berpikir bahwa kita hanya bisa mengetahui apa yang bisa kita rumuskan
menjadi konsep. Agama-agama Timur, termasuk Islam, yang merupakan agama Timur
dari sudut pandang ini, mengajarkan bahwa kita bisa mengetahui leih banyak
daripada yang bisa kita konsepsikan. Tentu saja, kita (bangsa Barat) sangat
piawai memakai nalar kita. Namun, kita pun punya jenis kecerdasan lainnya. Kita
mempunyai apa yang disebut oleh filosof Abad Pertengahan sebagai “intelek”,
yakni kemampuan untuk merenungkan kebenaran. Jadi, jika kita ingin mencari tahu
asal-usul keberadaan kita, kita bisa memperoleh bermacam-macam jawaban. Kita
mendapatkan jawaban berdasarkan kosmologi modern, kita pun punya pendekatan
spiritual dan mistis.
Jawaban yang lengkap hanya bisa di temukan di akhirat, yang menurut tradisi
Islam juga merupakan dunia pengetahuan. Di bumi, kita di batasi oleh hukum alam
dan kita hanya bisa mendapat jawaban parsial atas pertanyaan-pertanyaan
penting. Di akhirat kelak pengetahuan-langsung akan tersingkap.
Clayton: Dan intuisi spontan dari intellectus pun akan kita dapatkan, sementara
di dunia ini kita hanya memiliki cara-cara terbatas untuk mengetahui, dengan
nalar modern dan analisisnya, bukan dengan sintesis.
Guiderdoni: Tepat sekali. Kita (Bangsa Barat) sangat berhasil dalam bidang
algoritma. Namun, kita lupa bahwa ada jalan lain; kecerdasan tidak hanya
bersifat analitis, tetapi juga memiliki sisi sintesis, sebagaimana yang tadi
Anda katakan. Ia pun berhubungan dengan misteri kreativitas ilmiah dan penemuan
ilmiah. Bagaimanakah sebuah gagasan bisa terbetik dalam benak seorang ilmuan?
Ini merupakan pertanyaan besar. Kita bisa saja mengajari mahasiswa kita banyak
hal mengenai sains, tetapi kita tidak bisa mengajari mereka bagaimana
menemukan, karena kita benar-benar melupakan sisi kontemplatif dalam pikiran
manusia dan aktivitas manusia secara umum. Dalam agama, kami menemukan kembali
pentingnya jalan kontemplasi.
Clayton: Bisakah amal dan ketaatan religius membuat kita lebih kreatif dan
menambahkan bagi sisi analitis suatu cara berpikir yang lebih holistik?
Guiderdoni: Menurut saya, itu mungkin saja. Kita mempunyai contoh orang-orang
suci yang sangat kreatif, bukan hanya dalam Islam, tentu saja, melainkan di
semua agama. Kami punya kesan bahwa beberapa jenis amal bisa membuka cakrawala
berpikir atau membantu pikiran menghilangkan hambatan yang berhubungan dengan
hawa nafsu, dan lain sebagainya. Mungkin amal seperti inilah yang bisa membuat
seseorang lebih kreatif dan lebih efisien di duni ini. Namun, sekali lagi, itu
bukan tujuan utama amal religius. Tujuan utamanya adalah bukanlah penemuan
dunia ini, melainkan amal di dunia atas nama Tuhan. Melalui hal itu, kita bisa
menemukan Tuhan.
Clayton: Dasar keyakinan Islam adalah Tuhan tidak hanya merupakan Sang
Pencipta, tetapi, dalam makna tertentu, juga Sang Pengatur. Dengan kata lain,
Dialah Pengatur alam semesta. Apakah dalam tradisi Islam pemahaman mengenai
Tuhan semacam ini berubah setelah bersentuhan dengan sains modern atau tetap
tidak terpengaruh? Adakah penentangan terhadap keyakinan dan aktivitas Tuhan
ini, dikarenakan perkembangan pengetahuan kita atas dunia fisikal ini?
Guiderdoni: Ini pertanyaan yang sangat pelik dan ada beragam jawaban, sesuai
dengan periode sejarah yang kita perhatikan. Kini , tidak terdapat perdebatan antara
sains dan teologi Islam, karena teologi Islam sudah hampir lenyap. Saat ini
kami, Dunia Islam, sedang berada dalam masa sulit. Ada dua kecenderungan utama
dalam pemikiran Islam dewasa ini: yang pertama bisa disebut kecenderungan
rasionalistis, atau modernisme, yang menerima hasil-hasil sains modern tanpa
bersikap kritis. Kecenderungan ini berupa penerimaan menyeluruh terhadap semua
hasil pemikiran dan teknologi modern, tanpa upaya kritis untuk mempertanyakan
apakah hasil-hasil itu sesuai dengan pemikiran atau teologi Islam.
Kecenderungan kedua adalah perspektif fundamentalis: segala sesuat yang datang
dari peradaban Barat dianggap buruk hanya karena berasal dari Barat. Kaum
fundamentalis ingin membangun sains Islam yang selaras dengan sains modern. Kaum
fundamentalis menganggap sains modern sebagai sains Barat atau sains Kristen.
Ini benar-benar bertolak belakang dengan tradisi intelek dan spiritual yang
luar biasa dalam Islam. Sayangnya, perdebatan dalam Dunia Islam modern sangat
langka. Harus ada jalan ketiga di antara kedua jalan ekstrem ini dalam
memandang segala hal.
Malangnya, kebanyakan pemikir Muslim lebih tertarik pada masalah sosial dari
pada masalah fundamental, karena negara-negara Islam menghadapi begitu banyak
masalah ekonomi dan sosial. Jadi, kebanyakan refleksi dalam Islam berpusat pada
masalah-masalah tersebut. Namun sesungguhnya, secara historis –d an karena
alasan yang sangat kuat -- kecenderungan teologi Islam adalah membahas
masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Kita tidak bisa mengurusi
masalah-masalah sosial atau ekonomi dengan baik tanpa berefleksi pada
masalah-masalah fundamental terlebih dulu. Inilah kelemahan besar pemikiran
Islam modern dan merupakan penyebab mengapa refleksi Islam modern terhadap
masalah sosial dan ekonomi sering tidak mendalam. Itu pula penyebab mengapa
kami tergiring pada situasi kekerasan sekarang ini. Pada dasarnya, filsafat
Islam telah lenyap pada akhir Abad Pertengahan. Pemikiran Islam mengalami
kemunduran kecuali pada bidang tasawuf. Pada bidang ini refleksi selalu ada,
tetapi sedikit tersembunyi. Tidak mudah menemukan buku yang bagus atau
seseorang yang merenungkan pertanyaan Anda tadi.
Clayton: Apakah Anda memahami kerja yang Anda lakukan sebagai bagian dari upaya
membantu perubahan teologi Islam supaya lebih memikirkan pertanyaan ini,
umpamanya kerja Anda dengan televisi Prancis?
Guiderdoni: Menurut saya, di Eropa kami lebih siap untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan semacam ini karena kami memiliki dasar-dasar intelektual.
Kami hidup dengan pertanyaan-pertanyaan semacam in. Mungkin kami lebih siap
berpikir lebih tenang, karena kami tidak perlu menghadapi masalah-masalah
ekonomi dan politik yang parah seperti di hadapi oleh banyak negara Muslim.
Karenanya, kami punya kesempatan untuk berdiskusi. Contohnya, saya sering
memberi kuliah tentang soal-soal ini di masjid-masjid dan menemui begitu banyak
kaum muda Muslim yang tumbuh di Eropa dan telah meneima pendidikan budaya
Barat. Mereka menanti refleksi semacam ini karena hal itu memang diperlukan.
Clayton: Jadi, jika kita berangkat dari anggapan bahwa pemikiran Islam di
wilayah ini berada pada tahap awal dan bahwa jawaban yang muncul pastilah
sangat spekulatif di mata seorang Muslim, apa pendapat pribadi Anda mengenai
hubungan antara Tuhan, aktivitas Tuhan di dunia, dan deskripsi fisikal
realitas?
Guiderdoni: Al-Quran tidak menjelaskan terlalu mendetail soal ini. Tapi, ada
dua ayat yang bagi saya tampaknya sangat relevan. Satu ayat menyatakan bahwa
Tuhan menciptakan dunia dengan matematis. Al-Quran mengatakan bahwa ”matahari
dan rembulan beredar menurut suatu perhitungan” (QS Al-Rahman[55]:5).Ada
“angka-angka’ di jagat raya. Al-Quran menarik perhatian pembacanya pada segala
keteraturan di jagat raya. Ada juga ayat lainnya yang menyatakan bahwa “tiada yang
berubah dalam ciptaan Tuhan”. Itu berarti ada keteraturan. Keteraturan yang
kita lihat di alam dikarenakan terdapat tatanan sejak awal dan ini bisa di
identifikasikan, tentu saja, dengan hukum-hukum alam yang di ciptakan oleh
Tuhan. Tuhan membuat hukum-hukum alam menjadi mungkin. Tuhan adalah pemelihara
hukum alam.
Clayton: Mungkinkah ini merupakan sebuah pemahaman tentang tindakan Tuhan yang
dibahasakan dalam istilah-istilah keteraturan alam dan sifat penciptaan yang
seolah memang sengaja di tata?
Guiderdoni: Benar: keteraturan dan tatanan yang terus berlangsung. Ada ayat
lain yang sangat indah. Ayat itu menyatakan bahwa kita tak akan mampu menemukan
“celah” dalam ciptaan Tuhan. Tak ada yang melenceng. Segalanya serba-teratur
dan tertata. Sebab, Tuhan sendiri adalah tatanan. Tuhan adalah keindahan. Dan
keindahan yang kita lihat dalam jagat raya adalah bayangan keindahan Tuhan. Ini
yang pertama. Hal kedua, yang tak mengejutkan, bahwa keteraturan ini secara
mendasar bersifat intelektual. Mereka di bentuk oleh sebuah kecerdasan yang
juga menciptakan kecerdasan kita. Oleh karena itu, tak mengherankan apabila
kita mampu menjelajahi jagat raya, karena jagat raya bukanlah sebuah negeri
asing; ia tak berbeda dari kita. Kita dan alam semesta di ciptakan oleh Kecerdasan
yang sama.
Clayton: Dapatkah cara berpikir seperti ini membawa kita pada sebuah pandangan
bahwa Tuhan mengendalikan alam semesta tidak dalam bentuk tindakan-tindakan
langsung, tetapi dalam bentuk penciptaan awal berupa suatu tatanan yang
kemudian membentuk sifat-sifat dunia di masa berikutnya? Atau perlukah menjaga
konsep tentang tindakan Tuhan yang terus-menerus ?
Guiderdoni: Dalam teologi Islam, ada doktrin yang disebut pembaharuan
penciptaan pada setiap saat. Alasannya adalah bahwa keteraturan di dunia tidak
hanya sekadar ada; mereka tak bisa berjalan jika Tuhan tidak memperbarui mereka
setiap saat. Gagasan ini juga terdapat dalam filsafat Barat dengan nama
”oksionalisme”. Teologi Islam menggunakan gagasan fisika atomistik, sehingga
tentu saja cukup mirip dengan cara pandang kita sekarang terhadap jagat raya,
yang juga bersifat atomistik. Namun, teologi klasik Asy’ariyyah, yang
berkembang selama abad ke-19 dan ke-10 Masehi, menyatakan bahwa Tuhan
menciptakan atom-atom dan aksiden-aksiden setiap saat. Dengan demikian, atom
tak memiliki kemampuan untuk berbuat terhadap atom lain karena atom-atom tak
cukup mengada. Kausalitas sepenuhnya diadakan oleh Tuhan. Ada sebuah contoh
klasik yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali, salah seorang pemikir agung Islam.
Ia mengatakan bahwa api pada dasarnya tak memiliki kemampuan untuk membakar
selembar kertas. Jika kita mendekatkan api pada secarik kertas, kita melihat
kertas itu terbakar, tetapi ini bukan karena kita mendekatkan api pada kertas
itu. Ini adalah kehendak Tuhan karena api tak memiliki kapasitas dalam dirinya
untuk membakar. Ini merupakan sebuah pernyataan yang kuat dan sangat
bertentangan dengan cara kita memandang kausalitas di dunia. Kita bisa menerima
bahwa Tuhan menciptakan dunia dengan kausalitas, dengan hukum-hukum, tetapi
kita merasa bahwa setelah momen penciptaan, Tuhan membiarkan hukum-hukum itu
berjalan sendiri secara mekanistis. Teologi Islam klasik menyatakan bahwa pada
akhirnya perdebatan tentang kausalitas amatlah rumit dan secara esensial bersifat
metafisis. Siapakah yang membuat hukum alam? Apakah hukum-hukum alam terletak
pada materi? Mengapa harus ada hukum alam? Newton mengatakan bahwa hukum
gravitasi di mungkinkan karena Tuhan ada dan memelihara hukum gravitasi agar
tetap ada sepanjang waktu. Akhirnya, saya pikir teologi Islam juga sama.
Persoalan-persoalan kausalitas dan kekekalan hukum-hukum fisika adalah
pertanyaan-pertanyaan utama yang tak terpecahkan oleh filsafat kita. Orang
Barat cenderung membayangkan hukum alam sebagai sebuah deskripsi bersifat
perkiraan atas segelintir keteraturan di dunia. Dalam cara pandang ini, materi
akan didominasi oleh sebab dan kebetulan, dan kita berusaha menjelaskannya
dengan meraba-raba. Namun, dalam cara pandang teologi Islam, hukum-hukum alam
adalah “isi” alam semesta. Keteraturan, simetri, dan hukum-hukum kekekalan, itu
semua hanya penjelasan kita, cara pikir kita tentang “materi”. Ini karena
materi diciptakan oleh intelek. Ia di buat dengan simetri dan matematika.
Clayton: Alangkah menakjubkan. Kini, izinkan saya beralih ke pertanyaan
terakhir, sebuah pertanyaan pribadi. Dengan cara bagaimanakah keyakinan agama
Anda memotivasi kerja ilmiah Anda dan apakah riset ilmiah atau astrofisika
mengilhami keyakinan religius Anda?
Guiderdoni: Barangkali, langkah pertama dalam sebuah perjalanan spiritual akan
terkecewakan oleh sejumlah pertanyaan yang tak terjawab dan kita mencoba untuk
mencari pengetahuan dengan cara lain ; contohnya dengan bemuhibah ke
negeri-negeri Timur, meninggalkan segala kehidupan modern dan menyepi di biara
atau padepokan. Namun, itu merupakan pengingkaran kenyataan. Latihan religius
yang saya tempuh telah mengajari saya bahwa kita harus menerima realitas apa
adanya, sesuai dengan batas-batas kita. Namun, kita harus juga menerima segala
keindahan dan kekayaannya. Sains memiliki banyak batasan, tetapi juga memiliki
keindahan dan daya tarik yang luar biasa. Inilah alasan mengapa saya terus
menggelutinya dan berharap dapat mengembangkan diri di masa depan. Namun, saya
melihat kedua aktivitas ini mengarah pada satu realitas yang sama.